Bayang Bayang Wasiat
Setelah sekian
Dalam postingan ini saya dibantu oleh AI (Artificial Intelegent) dari X (dulu: Twitter) untuk pengembangan ide cerita dan pendeskripsian cover dan Chat GPT versi gratis sebagai pembuat cover. Sedangkan saya sendiri sebagai hanya pemilik ide saja. Jika ada kesamaan nama tokoh, kejadian dan kejadian, saya mohon maaf sebesar-besarnya karena ini murni ide dari saya sedangkan pengembangannya dari AI. Tujuan adanya postingan ini hanya hiburan semata. Berikut adalah cerita yang dikembangkan, selamat membaca:
Hujan deras mengguyur desa kecil itu, menyisakan genangan lumpur di jalanan tanah yang sepi. Ayus duduk di sudut ruang tamu rumah tua peninggalan keluarganya, memeluk lututnya erat-erat. Cahaya lampu minyak berkedip-kedip, menerangi selembar kertas lusuh di tangannya—wasiat Bapak Sampudjo, ayahnya, yang ia temukan seminggu lalu. Tulisan tangan yang penuh goresan itu terasa seperti bayang-bayang maut yang mengintai:
"Jika aku, Sampudjo, melakukan kesalahan, sengaja atau tidak sengaja, kepada siapa pun—rekan, teman, tetangga, bahkan keluarga—maka diperkenankan bagi mereka untuk membalas dendam dengan membunuh anggota keluargaku. Ini adalah kehendakku, dan darahku akan menjadi penebus dosa."
Ayus tak pernah tahu sisi gelap ayahnya saat kecil. Baginya, Bapak Sampudjo adalah penyelamat—orang kaya yang kekayaannya konon bisa bertahan tujuh turunan, selalu membawa pulang beras dan uang untuk keluarga besar mereka. Tiga belas anak, ibu yang penyayang, dan rumah penuh tawa—semuanya tampak sempurna. Tapi setelah menemukan wasiat itu dan menyaksikan kakak-kakaknya serta ibunya tewas satu per satu dalam kematian misterius, Ayus tahu ada kutukan di balik kekayaan itu.
Seminggu lalu, ia pergi ke rumah Pak Karto, tetangga terdekat, mencari jawaban. Pria tua itu duduk di beranda, matanya memandang Ayus dengan campuran kasihan dan kebencian. "Kau ingin tahu dosa ayahmu, nak?" katanya, suaranya parau. "Sampudjo itu lintah darat berwajah malaikat. Pandemi bikin kami susah—kerjaan hilang, harga bahan pokok naik gila-gilaan, pemerintah malah nambah biaya ini-itu yang tak jelas. Kami pinjem duitnya buat makan, buat hidup. Dia kaya raya, kami pikir dia penyelamat. Tapi begitu kami tak bisa bayar, dia datang kayak preman—mukulin orang, bakar gudang, ancam keluarga. Wasiat itu dia tulis setelah ibumu tahu dan ngamuk. Dia bilang darah kalian yang bayar kalau dia salah. Dan sekarang, kami ambil hak itu."
Ayus ingat ayahnya sering pulang malam dengan tangan berdarah dan kantong penuh uang, yang ia kira hasil kerja keras. Kini, ia tahu itu darah dan air mata warga desa. Pak Karto menatapnya tajam. "Kau ahli waris terakhir, Ayus. Jangan harap kami lupain utang Sampudjo." Saat pria tua itu berbalik mengambil sesuatu—mungkin pisau—Ayus berlari pulang, mengemasi tas kecil, dan malam itu juga kabur ke kota dengan bus terakhir.
Di kota, Ayus merasa napasnya sedikit lega. Keramaian jalanan, lampu-lampu terang, dan hiruk-pikuk orang-orang membuatnya tersembunyi. Ia menyewa kamar kecil di pinggir kota dengan sisa uang dari laci ayahnya. Ia bekerja serabutan—kuli bangunan, pencuci piring—berusaha membangun hidup baru. Tapi ketenangan itu tak bertahan lama.
Suatu malam, saat pulang dari kerja, hujan kembali turun. Ia masuk ke kamarnya, menyalakan lampu, dan jantungannya berhenti. Di meja kecil, ada wasiat ayahnya, utuh, dengan noda darah segar di sudutnya—padahal ia yakin telah membakarnya sebelum kabur. Ketukan pelan terdengar di pintu. Mengintip dari celah, ia melihat pria bertopeng kain hitam dengan kapak berkarat, dikelilingi bayangan warga desa—Pak Karto, Mbok Sari, dan lusinan lainnya. "Ayus... hutang Sampudjo tak kenal batas desa," seru suara serak itu.
Ayus bertindak cepat. Jendela kamar menghadap gang sempit tiga lantai di bawah, tapi ada pipa air tua di dinding luar. Ia membuka jendela, meraih pipa, dan meluncur turun, mengabaikan rasa sakit saat besi berkarat menggores telapaknya. Pipa bergoyang, nyaris patah, tapi ia mendarat di gang dengan kaki gemetar. Di atas, pintu kamarnya jebol dan teriakan marah terdengar. Ia berlari ke kegelapan, menghilang di labirin kota.
Sejak itu, Ayus menjadi nomaden. Ia tak pernah tinggal di satu tempat lebih dari seminggu—pindah dari kos murah ke losmen kumuh, dari kota ke kota, kadang tidur di terminal atau bangku taman. Ia bekerja serabutan, selalu membayar tunai, tak meninggalkan jejak. Sang penyewa kamar pertamanya, Mak Sari, hanya menduga-duga. "Anak itu aneh. Selalu buru-buru pindah, matanya liar kayak buronan. Pasti DPO," katanya pada tetangga. Tapi saat ia melapor ke polisi, petugas menggeleng. Foto Ayus tak ada di daftar buronan, tak ada catatan kriminal, tak ada apa-apa.
Tapi Ayus tahu itu bukan paranoia. Setiap kali ia berhenti, tanda-tanda itu muncul. Wasiat ayahnya akan tergeletak di meja, di tas, bahkan di saku jaketnya, selalu dengan noda darah segar. Suara langkah kaki pelan terdengar di malam sunyi, bayangan warga desa muncul di ujung gang atau di balik jendela buram. Mereka tak pernah menyerah—Pak Karto dengan matanya yang penuh dendam, pria bertopeng dengan kapaknya, dan lusinan warga lain yang hidupnya hancur oleh premanisme Sampudjo.
Suatu malam, di losmen tua di kota kecil yang sepi, Ayus duduk di ranjang berkarat, menatap wasiat di tangannya. Ia lelah—lelah lari, lelah bersembunyi. Matanya sayu, tubuhnya kurus kering, tapi ia tahu berhenti berarti mati. Angin dingin masuk dari jendela yang sedikit terbuka, dan lampu di kamar berkedip. Ia mendengarnya lagi—langkah kaki pelan di koridor, diikuti ketukan ringan di pintu.
"Ayus... kau tak bisa lari selamanya," suara serak itu kembali, lebih dekat, lebih nyata
.
Ayus tak menunggu. Ia meraih tasnya, melompat ke jendela, dan berlari ke hutan di belakang losmen. Hujan mulai turun, menyamarkan jejaknya. Ia tak tahu ke mana lagi harus pergi, tapi ia tahu selama darah Sampudjo mengalir di nadinya, dendam desa akan terus mengejar. Di losmen itu, pemilik menemukan kamar kosong keesokan harinya, hanya ada selembar kertas lusuh di ranjang, basah oleh noda darah yang sudah mengering. Hutan menyimpan jejak langkah Ayus yang hilang dalam hujan, dan bayang-bayang warga desa terus bergerak, tak pernah lelah memburu ahli waris terakhir Sampudjo
Komentar