Innocent II
20 Oktober 2020
Bang, gimana kabar si ade ya? tulisan hasil kecemasanku yang tertampang pada layar monitor Nokia 1280, hape butut di masa kini yang aku miliki satu-satunya. Sama seperti tuanya aku saat ini dan aku hanya memiliki satu anak lelaki kesayanganku. Tunggu, aku punya dua putra. Pipiku merasa basah oleh air mataku sendiri. Pandanganku menjadi nanar. Dan kemudian keadaan sekitarku menjadi gelap.
***
Selisih umur Weni dengan adik kecil ini delapan tahun. Jauh. Beda dengan kakak-kakak sebelumnya, rata-rata mereka berselisih 3 tahun. Semoga anak ini menjadi putra yang berbakti, berguna demi keluarga, bangsa dan agamanya.
Anak bungsuku, ia sungguh manis sedang aku pangku. Berambut ikal seperti riakan sungai yang menenangkan, beralis hitam tebal nan indah, matanya memancarkan kesejukan hati, berhidung mancung walau ia seorang peranakan Asia dan bibirnya yang menambah kegagahan. Tak sabar bagaimana kelak ia menjadi sosok dewasa. Ia pasti banyak dikagumi oleh banyak wanita. Aku saja hampir jatuh hati pada anakku.
Putra bungsuku kini sudah tumbuh menjadi sosok anak mungil yang menggemaskan. Uniknya, ia tak lagi berambut ikal, setelah prosesi acara ritual agama sewaktu ia berusia empat belas hari. Putra bungsuku saat ini senang bermain. Alangkah lucunya ia. Namun, aku juga ketakutan, jikalau masa depannya diisi oleh bermain. Maka tak sengaja aku lontarkan ucapan,
"Gak boleh main!!" mendengar ucapanku demikian, putra bungsuku menangis. Aku pun segera menggendongnya dan menenangkan dari tangisan imutnya. Aku pangku dia dan aku merasakan jantungnya berdetak lebih cepat daripada detak jantung orang dewasa. Kata suamiku, detak jantung anak kecil lebih sering frekuensi berdetak daripada dewasa. Ia masih menangis.
Aku melarangmu karena aku takut, nak, aku bergerutu dalam hati. Semoga dia bisa mendengar isi hatiku.
Waktu tak terasa cepat berlalu. Ia kini sudah berseragam putih merah. Ia nampak semangat sekolah. Aku senang melihatnya. Entah kenapa melihat porsi tubuh dia itu menjadi kurus. Setahuku, saat bayi ia sangat montok.
Aku duduk di sampingnya, duduk menemani awal ia bersekolah sebelum gurunya datang ke kelas. Banyak orangtua murid sama sepertiku, menemani putra-putrinya memasuki awal sekolah. Mereka tampak bergembira.
"Luk, kamu harus jadi anak baik ya? Biar temenmu banyak!" perintahku padanya. Aku memerintahkan demikian agar anakku melakukan hal yang terpuji. Aku tak mau jika putra kesayanganku ini mencoreng nama baik keluarga. Aku malu jika dia menjelekkan keluargaku sendiri dengan melakukan tercela.
Lagi-lagi waktu tak terasa berlalu. Sekarang ini dia sudah menginjak usia ABG. Aku pernah dengar dari n-kawan-kawanku jikalau anak ABG saat ini mengkhawatirkan kondisinya. Mereka rentan terhadap pergaulan bebas, merokok, narkoba, dan semua momok bagi orangtua yang menginginkan buah hatinya menjadi bumiputera yang membanggakan, semacam aku. Maka, aku perlakukan dia lebih melindungi dia.
Di waktu yang bersamaan, perusahaan suamiku, Eman mengalami goncangan. Kadang kondisi keuangan tidak stabil. Aku makin khawatir dengan keluargaku. Aku takut kelak menjadi hancur berantakan. Rasa takutku itu aku lampiaskan dengan perlahan-lahan aku sering memarahi anggota keluargaku, termasuk putra kesayanganku.
Nak, ibu tak berniat jahat padamu. Tetatpi, ibumu takut. Itulah ungkapanku dalam batinku setelah memarahi mereka. Aku juga sebenarnya ingin menangis, akan tetapi aku tak mau menangisi keadaan dan bahkan jika aku menangis setelah itu, aku bisa-bisa dikatkan orang yang labil emosinya.
Kecemasanku perlahan-lahan kian tampak saat putra bungsuku itu sudah menduduki bangku sekolah menengah atas. Ia kini terlihat tak belajar sedikit pun. Ia lebih banyak membaca novel, menonton televisi dan bermain permainan di komputer milik abangnya, Joy. Tidak hanya sekali aku memarahi dia, tetapi berulang-ulang aku memarahi ketika dia saat santai. Terlebih, saat dia baru bangun tidur pun tak segan aku memarahinya, agar ia tak melakukan apa yang kutakuti saat ia di sekolah.
Selain itu, beberapa aset perusahaan suamiku dicuri oleh seseorang. Aku mencurigai dalang di balik ini semua adalah musuh bebuyutanku dan dari gelagatnya, Ezzu-lah yang benar-benar patut dicurigai sebagai tersangka pencurian itu semua. Akibatnya, aku selalu menyuruh Weni, putri pangais bungsu untuk menjauhi suaminya. Jika dia menanyakan alasannya, aku lebih baik berbohong padanya atau bahkan menghindar tak mau menjawab.
Bertahun-tahun terjadilah apa yang aku takuti. Aset semua perusahaan suamiku kandas, mengakibatkan perusahaan bangkrut. Tunggu dulu, suamiku? Eman bukan suamiku lagi. Dia tak bisa menafkahi aku dan keluargaku lagi. Ditambah rasa curigaku pada Ezzu makin hari makin terlihat jelas bahwa dia yang telah mencuri aset perusahaanku. Ia telah bisa hidup mewah secara mendadak. 180 derajat berubah drastis.
Rasa gelisahku itu aku tak berlarut-larut. Aku dan Eman diberangkatkan perjalanan suci ke kota yang disakralkan di luar negeri. Selama mengikuti acara sakral tersebut, entah mengapa hatiku bertambah perih seperti disayat-sayat. Perasaan tersebut harus segera dilenyapkan karena hal itu menganggu kesakralan acara yang kuikuti.
*Bersambung*
Aku melarangmu karena aku takut, nak, aku bergerutu dalam hati. Semoga dia bisa mendengar isi hatiku.
Waktu tak terasa cepat berlalu. Ia kini sudah berseragam putih merah. Ia nampak semangat sekolah. Aku senang melihatnya. Entah kenapa melihat porsi tubuh dia itu menjadi kurus. Setahuku, saat bayi ia sangat montok.
Aku duduk di sampingnya, duduk menemani awal ia bersekolah sebelum gurunya datang ke kelas. Banyak orangtua murid sama sepertiku, menemani putra-putrinya memasuki awal sekolah. Mereka tampak bergembira.
"Luk, kamu harus jadi anak baik ya? Biar temenmu banyak!" perintahku padanya. Aku memerintahkan demikian agar anakku melakukan hal yang terpuji. Aku tak mau jika putra kesayanganku ini mencoreng nama baik keluarga. Aku malu jika dia menjelekkan keluargaku sendiri dengan melakukan tercela.
Lagi-lagi waktu tak terasa berlalu. Sekarang ini dia sudah menginjak usia ABG. Aku pernah dengar dari n-kawan-kawanku jikalau anak ABG saat ini mengkhawatirkan kondisinya. Mereka rentan terhadap pergaulan bebas, merokok, narkoba, dan semua momok bagi orangtua yang menginginkan buah hatinya menjadi bumiputera yang membanggakan, semacam aku. Maka, aku perlakukan dia lebih melindungi dia.
Di waktu yang bersamaan, perusahaan suamiku, Eman mengalami goncangan. Kadang kondisi keuangan tidak stabil. Aku makin khawatir dengan keluargaku. Aku takut kelak menjadi hancur berantakan. Rasa takutku itu aku lampiaskan dengan perlahan-lahan aku sering memarahi anggota keluargaku, termasuk putra kesayanganku.
Nak, ibu tak berniat jahat padamu. Tetatpi, ibumu takut. Itulah ungkapanku dalam batinku setelah memarahi mereka. Aku juga sebenarnya ingin menangis, akan tetapi aku tak mau menangisi keadaan dan bahkan jika aku menangis setelah itu, aku bisa-bisa dikatkan orang yang labil emosinya.
Kecemasanku perlahan-lahan kian tampak saat putra bungsuku itu sudah menduduki bangku sekolah menengah atas. Ia kini terlihat tak belajar sedikit pun. Ia lebih banyak membaca novel, menonton televisi dan bermain permainan di komputer milik abangnya, Joy. Tidak hanya sekali aku memarahi dia, tetapi berulang-ulang aku memarahi ketika dia saat santai. Terlebih, saat dia baru bangun tidur pun tak segan aku memarahinya, agar ia tak melakukan apa yang kutakuti saat ia di sekolah.
Selain itu, beberapa aset perusahaan suamiku dicuri oleh seseorang. Aku mencurigai dalang di balik ini semua adalah musuh bebuyutanku dan dari gelagatnya, Ezzu-lah yang benar-benar patut dicurigai sebagai tersangka pencurian itu semua. Akibatnya, aku selalu menyuruh Weni, putri pangais bungsu untuk menjauhi suaminya. Jika dia menanyakan alasannya, aku lebih baik berbohong padanya atau bahkan menghindar tak mau menjawab.
Bertahun-tahun terjadilah apa yang aku takuti. Aset semua perusahaan suamiku kandas, mengakibatkan perusahaan bangkrut. Tunggu dulu, suamiku? Eman bukan suamiku lagi. Dia tak bisa menafkahi aku dan keluargaku lagi. Ditambah rasa curigaku pada Ezzu makin hari makin terlihat jelas bahwa dia yang telah mencuri aset perusahaanku. Ia telah bisa hidup mewah secara mendadak. 180 derajat berubah drastis.
Rasa gelisahku itu aku tak berlarut-larut. Aku dan Eman diberangkatkan perjalanan suci ke kota yang disakralkan di luar negeri. Selama mengikuti acara sakral tersebut, entah mengapa hatiku bertambah perih seperti disayat-sayat. Perasaan tersebut harus segera dilenyapkan karena hal itu menganggu kesakralan acara yang kuikuti.
*Bersambung*
Komentar